Terus atau Berhenti

Oleh : @noichil 

Pernahkah engkau merasa ingin terus berjalan ketika semesta berbisik pada hatimu untuk berhenti?

***

Warna merah pada lampu lalu lintas masih menyala. Di dua ujung zebra cross, para pejalan kaki berjejer dan menunggu. Beberapa orang mengamati lampu seolah melamatkan mantera agar warnanya segera berubah menjadi hijau. Sedangkan yang lain lebih memilih menikmati lalu lalang kendaraan untuk mengusir rasa bosan. Mungkin sekadar memerhatikan merk mobil-mobil mewah yang belum mampu mereka punya, atau teringat kekasih lama yang mengendarai kendaraan yang sama.

Aku di sini. Di salah satu ujung zebra cross. Berdiri dan menahan napas ketika melihat punggungnya beranjak pergi. Di antara kendaraan yang berlalu lalang dan jajaran orang di seberang jalan, aku melihat ia melangkah dan menjauh. Mungkin, tidak akan kembali.

Sial. Lampu merah ini tidak juga berganti. Hijau. Segeralah engkau menjadi hijau.

Tapi manteraku sia-sia.

Semesta menyuruhku untuk berhenti. Tapi jika aku berhenti, maka cintanya takkan pernah kumiliki.

Akhirnya aku berlari. Kuterobos lampu merah tanpa menoleh ke belakang lagi. Lalu sebuah mobil van terlambat berhenti. Tubuhku terpental. Dan mati.

***

Ah tidak … tidak … tidak. Itu bayangan burukku saja. Selalu ada jalan keluar. Selalu ada pilihan selain terus atau berhenti.

Aku masih berdiri di sini. Di ujung zebra cross sambil melirik lampu yang berpendar. Masih merah. Kendaraan masih berlalu lalang di jalan raya yang membentang di hadapan.

Di seberang sana, orang-orang masih berjajar dan menunggu. Dan oh… itu dia. Di trotoar di seberang jalan raya. Aku masih bisa melihat punggungnya beranjak. Berlalu dan pergi.

Ah! Bagaimana ini? Aku tidak pernah mengira, menyeberang jalan akan menjadi serumit ini. Terus atau berhenti? Menyerah atau mati?

Aku mencari-cari celah waktu yang tepat. Pasti akan ada saat di mana jarak antara kendaraan itu meregang dan aku bisa menyeberang sesegera mungkin.

Dua mobil baru saja lewat. Lalu tiga motor. Di belakangnya, ada satu mobil lagi yang sama sekali tidak memberi jarak.

Argh! Kenapa, sih, lampu di zebra cross tidak ada yang berwarna kuning? Apakah pilihannya benar-benar hanya terus dan berhenti? Lalu kapan aku harus berhati-hati?

Ragu-ragu. Aku pun takut melangkahkan kakiku. Bayangan tubuhku sendiri yang terpental dan berdarah-darah sama sekali bukan skenario yang menyenangkan. Tapi terlambat sepersekian detik saja, aku kehilangan cintanya.

Lihat. Punggungnya hampir menghilang. Danang segera menghilang.

Tidak ada waktu lagi. Mungkin, semesta menyuruhku untuk berhenti. Tapi jika aku tetap di sini, maka cinta Danang takkan pernah kumiliki.

Akhirnya aku berlari. Kuterobos lampu merah tanpa menoleh ke belakang lagi. Lalu sebuah mobil van terlambat berhenti. Tubuhku terpental. Dan mati.

***

Aku membuka mata. Tiba-tiba rasa pusing meraja di kepala. Dahi dan tubuhku basah oleh keringat. Dadaku disesaki rasa takut yang menyeruak.

Oh. Rupanya hanya mimpi.

Aku bangun dan menghela napas. Lalu meraih ponsel yang layarnya berkelap-kelip.

Sebuah pesan. Danang.

Hidup dan berbahagialah, meski bukan dengan aku. Karena aku tidak bisa berpisah dari istriku. Maaf.”

Aku menelan ludah. Menggigit bibirku sendiri dan menangis.

Terus atau berhenti. Semesta telah menunjukkan tandanya. Maka aku tidak bisa ke mana-mana lagi.

Kulirik sebuah strip yang kukencingi tadi pagi. Dua garis merah.

Merah.

***

 

Visit Blog : http://noichil.wordpress.com

Menyerahkan Cinta

Oleh : @noichil

@noichil

“Cantik.”

Perempuan muda dan cantik di hadapanku mengangkat kepalanya. Ia memandangku dengan mata berkaca-kaca. Ia ragu, harus tersenyum atau menangis. Begitu pun denganku.

Tapi aku memilih untuk tersenyum.

“Gaunku yang dulu ternyata sangat pas untukmu,” kataku lagi.

Aku mengelus kepalanya yang tertutup jilbab putih gading yang dihiasi untaian bunga melati dan entah bunga apa lagi namanya. Riasannya tidak terlalu tebal, tapi terlihat sangat segar. Dan aku menginginkan perias lebih banyak memulaskan perona di pipinya. Kulit putih perempuan di hadapanku terlihat sangat pucat.

“Tersenyumlah. Kebahagiaan dan cinta adalah perona pipi paling cantik untuk wanita.”

Ia mengangguk pelan dan menunduk.

Pintu kamar pengantin terbuka. Seorang wanita paruh baya berkebaya dengan sanggul di kepala muncul dari baliknya, berjalan dengan langkah kecil-kecil, lalu meraih bahu pengantin wanita. “Ayo. Akadnya sudah akan dimulai,” katanya sambil membantu pengantin wanita itu berdiri.

Jantungku mencelos. Inilah saatnya.

Aku ikut menuntun pengantin wanita ke luar. Seiring dengan para tamu yang seketika merendahkan suaranya dan berbisik-bisik tentang betapa cantik sang pengantin wanita pagi ini, suara-suara di kepalaku mulai bergemuruh. Dadaku semakin riuh.

Aku menelan ludah. Kutenangkan diriku sendiri dari kekhawatiran yang meronta-ronta. Bukankah apa yang terjadi hari ini tidak berarti aku melepaskan segalanya, selamanya?

Sesampainya sang pengantin wanita di samping calon suaminya, kugenggam kedua tangannya yang mulai gemetar dan berkeringat. Menyatu dengan denyut nadiku yang semakin cepat. “Jadilah istri yang baik. Layani suamimu dengan cinta dan keikhlasan. Lahirkan anak-anak yang lucu dan menggemaskan,” pesanku.

Kutinggalkan mereka berdua di depan penghulu. Lalu aku duduk di samping ibuku. Sesaat, semua mata tertuju padaku. Sedangkan aku hanya mampu menunduk. Mungkin, sedikit pilu. Atau banyak. Aku tidak tahu.

Tapi inilah yang mampu kulakukan setelah berjuang selama bertahun-tahun. Yang aku tahu, inilah saatnya aku menyerah.

Menyerah pada harapan yang sudah tidak lagi bersinar. Menyerah pada usia yang sudah mencapai empat puluh sekian. Menyerah pada kenyataan bahwa aku takkan pernah bisa memberi suamiku keturunan.

Kuterima madunya, seorang perempuan cantik, muda nan subur untuk suamiku, dengan mas kawin… Ah, aku tidak peduli.

Laki-laki yang tanggung jawabnya baru saja terbagi itu menoleh ke arahku. Ia menangis. Dan aku menggigit bibirku sendiri.

Air mataku jatuh. Membasahi cincin kawin yang tersemat di jari manisku sejak dua puluh tahun yang lalu. Air mataku jatuh. Bersama cinta, yang mungkin, di malam-malam selanjutnya akan dihujani penyesalan dan berjuta rasa cemburu. Air mataku jatuh. Jatuh dan berusaha bangkit lalu terus tersenyum. Bagaimanapun, akulah yang nomor satu.

Para tamu mengangkat tangan dan berdoa. Begitu juga dengan tanganku. Hatiku melamatkan harapan dan cita-cita yang tidak bisa terwujud oleh rahimku. Semoga engkau segera diberkahi banyak keturunan, Kekasihku.  ***

 

Visit Blog : http://noichil.wordpress.com