Menyerahkan Cinta

Oleh : @noichil

@noichil

“Cantik.”

Perempuan muda dan cantik di hadapanku mengangkat kepalanya. Ia memandangku dengan mata berkaca-kaca. Ia ragu, harus tersenyum atau menangis. Begitu pun denganku.

Tapi aku memilih untuk tersenyum.

“Gaunku yang dulu ternyata sangat pas untukmu,” kataku lagi.

Aku mengelus kepalanya yang tertutup jilbab putih gading yang dihiasi untaian bunga melati dan entah bunga apa lagi namanya. Riasannya tidak terlalu tebal, tapi terlihat sangat segar. Dan aku menginginkan perias lebih banyak memulaskan perona di pipinya. Kulit putih perempuan di hadapanku terlihat sangat pucat.

“Tersenyumlah. Kebahagiaan dan cinta adalah perona pipi paling cantik untuk wanita.”

Ia mengangguk pelan dan menunduk.

Pintu kamar pengantin terbuka. Seorang wanita paruh baya berkebaya dengan sanggul di kepala muncul dari baliknya, berjalan dengan langkah kecil-kecil, lalu meraih bahu pengantin wanita. “Ayo. Akadnya sudah akan dimulai,” katanya sambil membantu pengantin wanita itu berdiri.

Jantungku mencelos. Inilah saatnya.

Aku ikut menuntun pengantin wanita ke luar. Seiring dengan para tamu yang seketika merendahkan suaranya dan berbisik-bisik tentang betapa cantik sang pengantin wanita pagi ini, suara-suara di kepalaku mulai bergemuruh. Dadaku semakin riuh.

Aku menelan ludah. Kutenangkan diriku sendiri dari kekhawatiran yang meronta-ronta. Bukankah apa yang terjadi hari ini tidak berarti aku melepaskan segalanya, selamanya?

Sesampainya sang pengantin wanita di samping calon suaminya, kugenggam kedua tangannya yang mulai gemetar dan berkeringat. Menyatu dengan denyut nadiku yang semakin cepat. “Jadilah istri yang baik. Layani suamimu dengan cinta dan keikhlasan. Lahirkan anak-anak yang lucu dan menggemaskan,” pesanku.

Kutinggalkan mereka berdua di depan penghulu. Lalu aku duduk di samping ibuku. Sesaat, semua mata tertuju padaku. Sedangkan aku hanya mampu menunduk. Mungkin, sedikit pilu. Atau banyak. Aku tidak tahu.

Tapi inilah yang mampu kulakukan setelah berjuang selama bertahun-tahun. Yang aku tahu, inilah saatnya aku menyerah.

Menyerah pada harapan yang sudah tidak lagi bersinar. Menyerah pada usia yang sudah mencapai empat puluh sekian. Menyerah pada kenyataan bahwa aku takkan pernah bisa memberi suamiku keturunan.

Kuterima madunya, seorang perempuan cantik, muda nan subur untuk suamiku, dengan mas kawin… Ah, aku tidak peduli.

Laki-laki yang tanggung jawabnya baru saja terbagi itu menoleh ke arahku. Ia menangis. Dan aku menggigit bibirku sendiri.

Air mataku jatuh. Membasahi cincin kawin yang tersemat di jari manisku sejak dua puluh tahun yang lalu. Air mataku jatuh. Bersama cinta, yang mungkin, di malam-malam selanjutnya akan dihujani penyesalan dan berjuta rasa cemburu. Air mataku jatuh. Jatuh dan berusaha bangkit lalu terus tersenyum. Bagaimanapun, akulah yang nomor satu.

Para tamu mengangkat tangan dan berdoa. Begitu juga dengan tanganku. Hatiku melamatkan harapan dan cita-cita yang tidak bisa terwujud oleh rahimku. Semoga engkau segera diberkahi banyak keturunan, Kekasihku.  ***

 

Visit Blog : http://noichil.wordpress.com